Aku sadar betul jika aku hanyalah seorang anak yang terlahir dari seorang ibu yang bermental cacat. Mereka semua bilang aku ini anak haram dari seorang wanita gila yang diperkosa karena keluguannya. Siapa yang mengkehendaki hidup seperti ini. Sarapan dengan cacian dan hinaan, apa enaknya? Aku yang baru berumur 9 tahun ini selalu mencoba bersabar, karena nenek selalu yang memberikanku pelajaran tentang arti kehidupan. Walau Mama ku seorang yang gila , aku tetap bersyukur karena memiliki seorang ibu. Masih bisa memeluknya ketika aku memerlukan kehangatan kasih sayang seorang Ibunda. Mama seringkali tersenyum sendirian yang ku tak mengerti ntah apa yang membuatnya begitu gembira. Aku paling benci kalau Mama udah ngeluarin air matanya, ia juga menjerit begitu kuatnya. Mama... Andai saja mama bisa sembuh dari sakit mama ini, pasti aku begitu bahagia. Dihari ibu ini aku ingin memberikan mama sebuah hadiah, tak mahal memang tapi ku rasa begitu bermakna. Mana ada aku uang untuk membeli barang-barang mahal, seperti anak lainnya yang mampu memberikan tas impor, sepatu bermerek, ataupun make up yang mahal. Ah, untuk apa juga benda seperti itu. Mama terimalah sapu tangan yang berajutkan “Mama, I LOVE U. Dont cry !” Aku tau Mama lebih sering nangisnya dibandingkan senyumnya. Air mata itu malah dibiarkannya membasahi bajunya.
“Nah, Mama. Dengan sapu tangan ini hapuslah segala kesedihanmu dalam ketidaktahuanku karena apa kau menangis.”
Mama, sesungguhnya keinginan terbesarku adalah bisa mendengar suaramu, satu kata saja, SAYANG. Karena itulah aku sering sekali membisikkan kata itu tiap kali Mama memulai kebiasaannya duduk melamun di kursi goyang kesayangan nenek. Teras depan rumah adalah tempat favoritnya, aku mendapatinya hampir setiap aku pulang sekolah. Ia selalu menghabiskan waktunya disana. Meski banyak anak-anak kecil sekitar rumah mengganggunya, bahkan ada yang melemparinya dengan batu kerikil. Karena aku selalu menemukan bekas luka di keningnya, lengan tangannya, dan batu kerikil berada di pangkuannya dan di sekitar tempat duduknya. Ia tetap saja betah berada di sana, Nenek pernah membawanya kedalam rumah, tapi Mama malah berontak, merengek seperti anak kecil. Karena segala keterbatasan dalam kehidupan inilah membuat Mama tak bisa dirawat di Rumah Sakit Jiwa.
“Mama, Mama, Mama. Keyakinankulah yang mampu membuatku menjadi anak yang tegar dan sabar merawatmu hingga Mukzizat Tuhan menjadikanmu sembuh. Tersenyum tanpa tetetasan air mata kepiluan. Cinta seorang anak kepada ibunya pasti mampu mengubah semua yang menyakitkan menjadi indah. Kasih sayang seorang ibu yang ku dapatkan, hanyalah lewat sebuah pelukkan dan pancaran bening sinar matanya yang begitu lembut dan menyejukkan jiwaku. Mama, sabarlah . Tak lama lagi pasti airmata itu berganti dengan senyuman indahmu. Percayalah pada keajaiban cintaku padamu, Oh MAMA...”
Suatu hari aku mencoba membuat sebuah lagu untuk Mama, lagu yang ku ciptakan jauh dari lubuk hatiku. “Teruntuk Bunda” judulnya. Ku nyanyikan tepat di hari Ulang Tahun Mama yang ke 32. Ku iringi lantunan lagu itu dengan sebuah gitar sederhana yang ku buat sendiri. Mungkin tak seindah lagu para musisi ternama, tapi lagu ini penuh makna. Cintaku pada Mama sepanjang masa, karena Mama adalah surgaku. Mama satu-satuunya alasanku untuk bisa terus berprestasi. Inilah bait-bait puisi yang ku nyanyikan itu.
“Teruntuk Bunda”
Bunda,,, Oh bunda...
Coba dengarkanlah...
Suara ananda,,
Bernyanyi......
Hanya untuk Bunda....
Tersenyumlah Bundaku sayang.
Hapus semua airmatamu.
Karena anakmu tak ingin
Kau bersedih lagi.
Ku hadiahkan sebuah lagu,
Tercipta dari relung hatiku..
Hanya teruntukmu....
Bunda...
Hanya teruntukmu , Bunda...
Semoga saja kau suka.
Bunda...
Aku kan selalu mencoba,
Membuatmu bahagaia,
Tanpa airmata
Tanpa airmata, dipipimu.
Ohh...Hooo... Bunda...
Ohh...Hooo... Sayangku,
Engkaulah Cinta dan surga ku.
Bunda...
I LOVE U
Aku sangat terkejut ketika lagu itu selesai ku nyanyikan, Mama bertepuk tangan dan tersenyum lebar. Seolah pesan dari lagu itu tersampaikan dalam hatinya. Tak lama kemudian Mama mengucap kata “SAYANG”. Aku seperti bermimpi malam itu, aku pasang lagi telingaku baik-baik, dan meminta Mama mengulangi lagi.
“Mama bilang apa tadi? Tolong di ulangi sekali lagi Ma. Gama kurang jelas tadi dengernya.”pintaku lembut.
Tapi mama malah diam saja tak menjawab apa-apa. Mungkin tadi hanya suara angin atau malah suara cicak di dinding rumah, pikirku. Hufh.. aku hanya menghela nafas ku panjang.
“Ma, tiup lilinnya dong Ma! Ucapkan harapan Mama dalam hati, semoga bisa terwujudkan. Ayolah Mama ku sayang.”bujukku.
Lagi-lagi Mama tak memenuhi permintaanku, Mama seperti kehilangan tenaganya ia tak bisa meniup lilin itu. Aku sajalah yang meniup lilin itu dan membuat sebuah harapan “Mama bisa sembuh dan bahagia bersamaku, selamanya. Amin.”. Potongan kue kecil dan sederhana yang ku beli dengan uangku sendiri itu ku suapkan ke mulut Mama perlahan. Hmmm, syukurlah kali ini Mama mau membuka mulutnya, dan sepotong kue itu mendarat empuk di mulut Mama. Hmm, yummie dan lezat... Lagi, senyumnya kembali menghiasi wajahnya yang cantik itu. Mamaku memang cantik dan bagiku dia satu-satunya wanita tercantik di bumi hatiku. Aku berjanji cintaku pada Mama takkan pernah hilang dan tergantikan. Aku tak tahu siapa ayahku, dan aku tak pernah mau tau lagi siapa dia. Aku juga tak ingin bertemu dengan dia. Karena dia telah membuat Mama seperti ini. Sebagai lelaki ayah tak pantas rasanya menjadi pengecut. Aku pun tak akan mengikuti jejak ayah yang tidak mempunyai hati nurani dan cinta kasih. Aku akan menjadi seorang lelaki ksatria yang selalu melindungi dan menyayangi wanita, terutama Mama. I LOVE U , MOM.